
Banda Aceh – Sepanjang Januari hingga 3 Desember 2025, Kantor Wilayah Kementerian Hukum Aceh mencatat 4.278 permohonan kekayaan intelektual (KI). Rinciannya: 750 merek, 78 paten, 3 desain industri, dan 3.447 hak cipta.
Meski terlihat besar, angka itu dinilai belum mencerminkan potensi Aceh yang sebenarnya. Banyak karya dari masyarakat dan kampus disebut masih belum didaftarkan.
“Potensi kita sebenarnya jauh lebih besar. Banyak inovasi dosen, penelitian mahasiswa, sampai karya seni dan teknologi tepat guna yang belum diajukan untuk pendaftaran KI,” kata Kakanwil Kemenkum Aceh, Meurah Budiman, dalam Rapat Koordinasi Sentra KI dan Diseminasi Desain Industri 2025 di Banda Aceh.
Meurah menegaskan bahwa perlindungan KI bukan sekadar formalitas, tapi menyangkut keamanan hukum dan nilai ekonomi sebuah karya. Ia meminta perguruan tinggi lebih aktif membangun kesadaran hukum di lingkungan kampus.
“Kami ingin kampus jadi motor edukasi. KI itu harus didaftarkan sejak awal agar karya tidak mudah diklaim pihak lain,” ujarnya.
Rakor ini juga menjadi bagian dari langkah Kemenkum Aceh mendukung kebijakan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dalam memperluas jejaring Sentra KI di seluruh Indonesia. Data yang terkumpul akan menjadi dasar strategi pembinaan, pelatihan, dan pendampingan di Aceh.
Forum tersebut membuka ruang bagi kampus untuk menyampaikan pengalaman dan tantangan dalam mengelola Sentra KI. Masukan itu akan dirangkum sebagai bahan penyusunan roadmap penguatan Sentra KI Perguruan Tinggi Aceh setiap tahun.
Meurah berharap upaya ini bisa mendorong peningkatan jumlah permohonan KI di masa mendatang.
“Kami ingin karya masyarakat Aceh tidak hanya dikenal, tapi juga terlindungi. Itu yang sedang kita kejar,” katanya.

