
Banda Aceh – Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum Aceh, Purwandani H. Pinilihan, menegaskan pentingnya masyarakat memahami dan melindungi karya melalui pendaftaran kekayaan intelektual (KI).
Penekanan ini ia sampaikan dalam program talkshow bersama RRI Meulaboh, yang membahas tema “pentingnya merek bagi pelaku UMKM”, Selasa (2/9/2025)
Menurut Purwandani, kesadaran masyarakat terhadap perlindungan kekayaan intelektual masih relatif rendah. Padahal, banyak produk lokal, karya seni, hingga inovasi komunitas yang berpotensi didaftarkan sebagai merek, hak cipta, hingga indikasi geografis.
“Kami ingin masyarakat melihat KI bukan hanya urusan administrasi, melainkan instrumen untuk menjaga hak dan nilai ekonomi dari karya mereka,” ujarnya.
Salah satu inisiatif yang kini tengah digerakkan adalah mendorong pendaftaran merek kolektif. Program ini menyasar kelompok masyarakat maupun koperasi yang memiliki produk unggulan.
Purwandani menilai Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih sebagai salah satu entitas yang sedang didorong memiliki merek kolektif agar memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat. Merek kolektif memungkinkan kelompok usaha kecil atau komunitas desa memasarkan produk dengan identitas yang sama tanpa kehilangan kepemilikan bersama.
“Dengan merek kolektif, produk masyarakat bisa lebih dikenal, terstandar, dan memiliki daya saing. Ini juga melindungi mereka dari praktik penjiplakan atau pengakuan sepihak,” katanya.
Program Teuku Umar (Tim Edukasi Kekayaan Intelektual untuk Masyarakat Aceh) sendiri lahir sebagai strategi Kemenkum Aceh untuk mengedukasi publik terkait kekayaan intelektual. Tim ini rutin menyambangi komunitas, kampus, hingga desa-desa dengan format penyuluhan, diskusi, maupun pendampingan teknis.
Purwandani menyebut model edukasi ini penting agar isu KI tidak berhenti di ruang akademik, melainkan benar-benar menyentuh masyarakat yang sehari-hari memproduksi karya dan produk lokal.
Ia menekankan bahwa perlindungan KI tidak hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga ekonomi dan kebudayaan. Banyak warisan budaya dan ekspresi tradisional Aceh, seperti motif, tarian, maupun kuliner, yang rentan diklaim pihak luar jika tidak didaftarkan secara resmi.
“Kekayaan budaya Aceh harus kita jaga. Jangan sampai masyarakat hanya jadi penonton ketika karya mereka dikomersialisasi orang lain,” kata Purwandani.
Kemenkum Aceh melalui Teuku Umar juga berupaya menjembatani masyarakat dengan layanan administrasi yang sering dianggap rumit. Menurut Purwandani, proses pendaftaran KI kini jauh lebih mudah karena dapat dilakukan secara daring.
“Kami ingin menghapus stigma bahwa urusan KI itu sulit. Justru sekarang lebih praktis, dan negara menyiapkan berbagai kemudahan,” tambahnya.
Di akhir talkshow, Purwandani mengajak masyarakat Aceh, khususnya para pelaku usaha kecil dan komunitas desa, untuk lebih proaktif.
“KI adalah hak dan juga aset. Jika kita abai, orang lain bisa mengambil manfaat dari karya kita. Karena itu mari bersama-sama kita wujudkan Aceh yang sadar hukum dan melek kekayaan intelektual,” pungkasnya.



















 Pintoe Aceh
			                Pintoe Aceh					     
						          